Wacana Kebijakan Pembayaran Utang Proyek Infrastruktur (misalnya Whoosh) yang melibatkan uang hasil korupsi.

Kebijakan Kontroversial: Pemanfaatan Dana Hasil Korupsi untuk Pembayaran Utang Proyek Infrastruktur Strategis (Studi Kasus Whoosh)

Wacana mengenai penggunaan dana hasil sitaan tindak pidana korupsi untuk menutup atau mengurangi beban utang proyek infrastruktur skala besar, seperti Kereta Cepat Jakarta-Bandung (Whoosh), memicu perdebatan sengit di ranah hukum, ekonomi, dan etika publik. Meskipun terlihat sebagai solusi cepat untuk mengatasi defisit dan pembengkakan biaya (cost overrun), kebijakan ini sarat dengan dilema legalitas dan preseden buruk terhadap tata kelola keuangan negara.

Dilema Etika dan Dasar Hukum Pemanfaatan Dana Sitaan Korupsi

Secara umum, dana yang berhasil disita dari kasus korupsi (asset recovery) dikategorikan sebagai pengembalian kerugian negara. Tujuan utamanya adalah mengembalikan aset yang dicuri ke kas negara, bukan secara spesifik dialokasikan untuk membiayai utang proyek tertentu.

Prioritas Hukum Dana Hasil Korupsi

Menurut Undang-Undang, pemanfaatan aset hasil korupsi harus memenuhi prinsip akuntabilitas dan transparansi. Prioritas penggunaan dana sitaan seringkali mencakup:

  • Pengembalian langsung ke Kas Negara sebagai Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
  • Penggunaan untuk program peningkatan kapasitas penegakan hukum (meskipun ini sering menjadi perdebatan).
  • Pengembalian kepada korban (jika ada tuntutan restitusi).

Jika dana tersebut dialihkan untuk membayar utang proyek Whoosh, timbul pertanyaan mendasar: Apakah ini merupakan alokasi yang paling optimal, atau justru menutupi kegagalan pengelolaan risiko finansial proyek sejak awal?

Analisis Risiko Kebijakan terhadap Proyek Whoosh

Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung telah mengalami beberapa kali pembengkakan biaya. Penggunaan dana hasil korupsi, meskipun secara teknis dapat meringankan beban utang, membawa risiko kebijakan yang signifikan:

1. Mengaburkan Akuntabilitas Keuangan Proyek

Penggunaan dana non-reguler (dana sitaan) dapat mengaburkan perhitungan feasibility study dan pertanggungjawaban proyek. Jika utang dilunasi dengan sumber dana yang “tidak terduga,” hal ini dapat mengurangi insentif untuk mengaudit secara ketat penyebab cost overrun yang terjadi.

2. Preseden Buruk dalam Pembiayaan Infrastruktur

Kebijakan ini berpotensi menciptakan preseden bahwa utang proyek infrastruktur di masa depan dapat ditoleransi atau bahkan diselesaikan melalui “dana tak terduga” dari kejahatan. Hal ini dapat melemahkan disiplin fiskal dalam perencanaan proyek-proyek strategis negara (PSN).

3. Konflik dengan Tujuan Asset Recovery

Tujuan utama asset recovery adalah efek jera dan pengembalian kerugian. Mengalokasikan dana sitaan secara spesifik untuk proyek tunggal, terlepas dari apakah dana tersebut memiliki hubungan langsung dengan proyek tersebut atau tidak, dapat dianggap menyimpang dari mandat awal pemulihan aset.

Perbandingan Sumber Pembiayaan Utang

Keputusan untuk menggunakan dana sitaan korupsi harus dibandingkan dengan skema pembayaran utang yang lebih konvensional. Tabel berikut menyajikan perbandingan singkat:

Sumber Dana Pro (Keuntungan) Kontra (Kelemahan) Implikasi Akuntabilitas
Dana Hasil Korupsi (Sitaan) Tidak menambah beban utang baru. Dapat melanggar alokasi prioritas; menciptakan preseden buruk. Sangat tinggi (memerlukan persetujuan pengadilan dan Kejaksaan/KPK).
Pinjaman Baru (Utang) Memastikan proyek tetap berjalan; prosedur standar. Meningkatkan rasio utang negara/BUMN; memerlukan jaminan pemerintah. Tinggi (melalui audit BPK dan Kementerian Keuangan).
Penyertaan Modal Negara (PMN) Memperkuat ekuitas BUMN pelaksana proyek. Mengurangi alokasi anggaran sektor lain. Tinggi (memerlukan persetujuan DPR dan alokasi APBN).

Rekomendasi Kebijakan Menuju Tata Kelola yang Lebih Baik

Untuk menghindari kontroversi dan memastikan tata kelola yang baik, pemerintah disarankan mempertimbangkan langkah-langkah berikut dalam menyikapi utang proyek infrastruktur:

  1. Transparansi Penuh Sumber Dana: Pemerintah wajib mengumumkan secara detail jumlah utang Whoosh yang akan ditutup, jumlah spesifik dana hasil korupsi yang dialokasikan, dan landasan hukum yang digunakan untuk mengalihkan dana tersebut.
  2. Prioritaskan Kas Umum: Dana hasil korupsi seharusnya dikembalikan ke Kas Negara Umum terlebih dahulu, dan alokasi untuk proyek infrastruktur dilakukan melalui mekanisme APBN yang normal (seperti PMN), bukan dialokasikan secara langsung.
  3. Audit Menyeluruh: Sebelum keputusan penggunaan dana sitaan, wajib dilakukan audit forensik menyeluruh (oleh BPK atau lembaga independen) untuk mengidentifikasi akar penyebab cost overrun pada proyek Whoosh.
  4. Revisi Regulasi Pemanfaatan Aset: Diperlukan revisi terhadap regulasi terkait pemanfaatan aset sitaan agar ada kejelasan hukum mengenai fleksibilitas penggunaannya, memastikan bahwa penggunaannya tetap berorientasi pada kepentingan publik yang luas, bukan hanya kepentingan proyek tertentu.

Kesimpulan: Meskipun godaan untuk menutup lubang utang besar dengan dana yang sudah tersedia dari hasil sitaan korupsi sangat besar, kebijakan tersebut harus dilaksanakan dengan kehati-hatian maksimal. Keuntungan finansial jangka pendek tidak boleh mengorbankan integritas sistem hukum, etika antikorupsi, dan disiplin fiskal dalam jangka panjang.